Hardiknas 2018
dan Terobosan untuk Meningkatkan Indeks Pendidikan
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2018 menjadi momentum
mencari solusi untuk mendongkrak indeks pendidikan di Tanah Air. Tema
peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini adalah "Menguatkan
Pendidikan, Memajukan Kebudayaan".
Esensi menguatkan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari
isu strategis pendidikan dan kebudayaan. Yakni ketersediaan, peningkatan
profesionalisme, dan perlindungan serta penghargaan guru; pembiayaan pendidikan
dan kebudayaan oleh pemerintah daerah; kebijakan revitalisasi pendidikan vokasi
dan pembangunan ekonomi nasional; membangun pendidikan dan kebudayaan dari
pinggiran; serta penguatan pendidikan karakter dan sekolah sebagai model
lingkungan kebudayaan.
Peringatan Hardiknas kali ini diwarnai dengan permohonan
maaf Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy terkait soal Ujian
Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang dianggap terlalu sulit oleh para siswa
Sekolah Menengah Atas (SMA). Pemerintah memang menaikkan tingkat kesulitan soal
UNBK tahun ini dan menerapkan High Order Thinking Skills (HOTS). Penerapan HOTS
untuk mendorong siswa memiliki kemampuan berpikir kritis dan mengejar
ketertinggalan dari negara lain.
Hingga kini kita sangat prihatin melihat Indeks
Pendididikan Indonesia yang masih rendah. Kualitas SDM Indonesia masih kalah
dengan negara ASEAN yang lain. Hal itu bisa dilihat dari hasil tes di lapangan.
Dibanding Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina dan Vietnam, dalam hal tiga
jenis tes untuk kategori membaca, matematika, sains, alhasil Indonesia ada di
bawah. Bahkan kalau diuji seluruhnya, kita jauh tertinggal dibanding dengan
Vietnam.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melakukan
penelitian Right to Education Index (RTEI) guna mengukur pemenuhan hak atas
pendidikan di berbagai negara. Hasil penelitian menyatakan indeks kualitas
pendidikan di Indonesia masih di bawah Filipina.
Bangsa ini tidak boleh mengingkari kenyataan berada di
peringkat bawah dalam hal pendidikan. Justru kondisi riil itu harus menjadi
cambuk untuk mengejar ketertinggalan hingga peringkat naik signifikan. Mestinya
tidak boleh cengeng dengan penerapan HOTS dalam UN.
Kondisi yang memprihatinkan juga ditunjukkan dari hasil
survei Programme for International Student Assessment (PISA) yang menunjukkan
posisi Indonesia di urutan 64 dari 72 negara yang disurvei. Penilaian dilakukan
terhadap performa akademis anak-anak sekolah yang berusia 15 tahun di seluruh
dunia dalam matematika, ilmu pengetahuan dan membaca. Tujuannya untuk menguji
dan membandingkan prestasi anak-anak demi peningkatan metode pendidikan dan
hasilnya di setiap negara.
Melihat hasil survei diatas tak pelak lagi kita harus
berusaha sekuat tenaga untuk melakukan leapfrogging dalam mengembangkan SDM nasional.
Dibutuhkan program nasional yang massive action dibidang pendidikan.Yang bisa
mencetak atau membentuk secara masal SDM kelas dunia. Bangsa ini tidak boleh
mengingkari kenyataan berada di peringkat bawah dalam hal pendidikan. Justru
kondisi riil itu harus menjadi cambuk untuk mengejar ketertinggalan hingga
peringkat naik signifikan.
Salah satu cara untuk mengatasi terpuruknya indeks
pendidikan adalah menerapkan sistem pembelajaran kontekstual. Di negara maju
Contextual Teaching And Learning (CTL) merupakan suatu proses pendidikan yang
holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran
yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan kontekskehidupan
mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga
siswamemiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan
(ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya.
Sistem CTL membantu guru mengaitkan antara materi ajar
dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan perencanaan dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Ciri pembelajaran kontekstual adalah siswa dapat mengatur diri
sendiri sebagai sosok yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya
secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau kelompok dan orang
yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing).
Sistem CTL menggunakan metode penilaian yang autentik
(using authentic assesment). Penilaian autentik memberikan kesempatan luas bagi
siswa untuk menunjukan apa yang telah mereka pelajari selama proses belajar
mengajar. Adapun bentuk-bentuk penilaian
yang dapat digunakan oleh guru adalah portfolio. Portfolio merupakan kumpulan tugas yang
dikerjakan siswa dalam konteks belajar di kehidupan sehari-hari.Siswa
diharapkan untuk mengerjakan tugas tersebut supaya lebih kreatif.
Mereka memperoleh kebebasan dalam belajar, selain itu
portfolio juga memberikan kesempatan lebih luas untuk berkembang serta
memotivasi siswa. Penilaian ini tidak perlu mendapatkan penilaian angka,
melainkan melihat pada proses siswa sebagai pembelajar aktif. (*)
Jakarta, 2 Mei
2018
Euro Manajemen Indonesia
Bimo Sasongko. BSAE, MSEIE, MBA
President Director & CEO