http://id.beritasatu.com/home/visi-indonesia-dan-kualitas-sdm/138713
Visi Indonesia dan Kualitas SDM
Rapat pimpinan nasional (Rapimnas) Partai Golkar beberapa
waktu lalu merekomendasikan agar Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dihidupkan
lagi dengan tajuk Visi Indonesia 2045. Visi tersebut sekaligus menjadi grand design pembangunan nasional.
Rakernas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) sebelumnya juga telah mengemukakan pentingnya menghidupkan GBHN dalam tajuk Pembangunan Nasional Semesta Berencana.
Langkah menghidupkan GBHN memang tidak sekadar
menyusun kembali naskah atau dokumen pembangunan, tetapi juga termasuk menyusun
metode untuk mewujudkan kekuasaan atau pemerintahan yang efektif dan berdaya
saing. Itu karena rumusan GBHN yang sebagus apa pun, akan percuma jika sistem
kekuasaan tidak efektif. Justru faktor penting untuk mewujudkan pemerintahan
yang efektif dan berdaya saing tinggi adalah mencetak sumber daya manusia (SDM)
bangsa yang unggul.
Tranformasi menjadi negara maju mustahil
berlangsung tanpa disertai dengan mencetak SDM unggul di segala bidang. Sejarah
menunjukkan bahwa untuk mencetak SDM unggul, maka langkah pengiriman mahasiswa untuk
belajar ke luar negeri adalah tepat. Pengiriman ribuan mahasiswa (pemuda) untuk
belajar di negara maju adalah penting guna transfer teknologi.
Ini dimulai sejak zaman Soeharto. Pada saat BJ Habibie
menjadi Menristek, ia telah mengirim ribuan lulusan SMA ke berbagai negara
maju. Langkah ini sebagai persiapan untuk menjalankan strategi tranformasi
teknologi dan industri yang berbentuk 9 wahana iptek dan industri strategis seperti
industri pesawat terbang (PT DI), maritim (PT PAL), persenjataan (PINDAD),
industri baja ( PT Krakatau Steel), industri perkeretaapian nasional (PT INKA),
industri nuklir dan PLTN ( BATAN) dan sebagainya.
Sayangnya, sejak 1997 berbagai program beasiswa ke
luar negeri yang dirintis oleh BJ Habibie dihentikan tanpa alasan yang jelas.
Dengan demikian kesempatan pemuda Indonesia berbakat dari berbagai golongan
untuk kuliah di luar negeri menjadi tertutup.
Sistem Lab Based Education
Data statistik menunjukkan, dalam lima tahun
terakhir jumlah mahasiswa asing yang belajar di Amerika Serikat terus
meningkat. Mahasiswa asal Tiongkok berjumlah sekitar 157.000 orang, India
103.000, Jepang 21.000 orang, dan Indonesia sekitar 5000 – 6000 orang. Di
Jerman, mahasiswa asal Indonesia sekitar 2000 orang, namun mahasiswa Tiongkok
di Jerman sampai 25.000 orang. Begitu juga di Australia, mahasiswa Indonesia
11.000 orang, sedangkan asal Vietnam 10.000 orang. Padahal, penduduk Vietnam
hanya sekitar 90 juta orang.
Artinya, kalau penduduk Indonesia 250 juta orang
atau sekitar tiga kali Vietnam, idealnya mahasiswa Indonesia di Australia
30.000 orang. Nyatanya, mahasiswa kita yang belajar di negeri Kanguru itu hanya
11.000 orang. Artinya, Indonesia masih tertinggal dalam mengirimkan mahasiswa
Indonesia ke negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Australia
dan Jerman.
Selama ini, mindset
orang Indonesia adalah ingin sekolah keluar negeri
untuk program S2 nya saja. Inilah yang membuat Indonesia jauh tertinggal dengan
negara lain. Kini pemerintahan Presiden Joko Widodo sedang gencar membangun
berbagai macam infrastruktur fisik dan program rekayasa untuk memenuhi
swasembada pangan.
Maka dibutuhkan SDM yang unggul dan menguasai tren
global tentang riset dan teknologi terkini. Untuk itu, kita perlu kembali
gencar mengirim para lulusan SMA langsung untuk belajar di perguruan tinggi di
negara maju. Hal ini lebih efektif karena para lulusan SMA secara psikologis
masih sangat idealis dan mudah melakukan revolusi mental saat belajar di luar negeri.
Begitu pun dari segi rentang usia, lulusan SMA memiliki waktu yang cukup untuk
mendalami iptek secara komprehensif.
Keinginan untuk mengirimkan mahasiswa untuk belajar
ke luar negeri adalah karena sistem pendidikan
di sana yang menekanakan sistem lab
based education (LBE) yang tidak dimiliki oleh perguruan tinggi di
dalam negeri.
Sistem LBE adalah pendidikan yang dikaitkan dengan
proyek riset atau tugas akhir di laboratorium canggih. Ada baiknya kini kita
perlu mengangkat kembali SDM teknologi yang dahulu dipersiapkan oleh BJ Habibie
lewat beasiswa ikatan dinas kuliah di luar negeri untuk menangani transformasi industry
dan teknologi berbagai bidang.
Pada saat ini mereka tetap eksis dan telah
menemukan jalan masingmasing untuk mengabdikan kompetensinya kepada negeri ini.
Penerima beasiswa ikatan dinas ke luar negeri searah dengan paradigma global brain circulation
seperti yang dikemukan oleh Paul Krugman, penerima hadiah Nobel Ekonomi. Para
penerima beasiswa LN yang dikirim sejak mereka lulus SMA lebih mudah menjadi
sosok versatilis.
Sosok itu telah menjadikan kompetensi dan pengalaman sewaktu kuliah dan magang
kerja di LN sebagai modal penting untuk memecahkan berbagai persoalan bangsa
atau bisnisnya. Hal itu tidak mengherankan karena sistem pendidikan di Negara maju
bisa menjadi problem solving
yang hebat untuk berbagai kehidupan.
Karena kurikulum mengalami perbaikan yang terus
menerus, berkembang setiap detik dan sangat memperhatikan kerja detail. Perjalanan
suatu bangsa sangat membutuhkan solusi multidisiplin dan multiplatform namun
tetap sesuai dengan konteks permasalahan lokal yang timbul. Di sinilah Gartner
mendefinisikan versatilis
sebagai sosok yang memiliki pengalaman, kemampuan menjalankan berbagai tugas
yang beragam dan multidisiplin (versatile).
Hal itu sekaligus untuk menciptakan pengetahuan
baru, kompetensi dan keterkaitan yang kaya dan padu guna mendorong perbaikan tatakelola
dan nilai bisnis.
Inovasi dan Kreativitas
Sebelum menghidupkan kembali GBHN, ada baiknya kita
berani mengevaluasi dan mencari faktor penyebab kegagalan atau kemandulan sistem
yang ada selama ini, yakni Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Evaluasi
tersebut juga termasuk eksistensi Perda Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD) dan Jangka Menengah Daerah.
Selama ini rakyat menilai bahwa RPJMD dan RPJPD
terlihat tidak realistis dan ketinggalan jaman. Jika kita cermati kondisi saat
ini, ada sederet kelemahan mendasar dalam Perda RPJPD dan RPJMD yang dibuat
oleh hampir semua pemerintah daerah dan lembaga legislatif.
Terlihat dengan jelas jika isinya memang belum
menekankan faktor inovasi segala bidang, daya kreativitas serta faktor berpacu dalam
menyelenggarakan pemerintahan Hal itu disebabkan belum adanya dukungan SDM
unggul yang visioner dan bisa menyusun cetak biru yang hebat serta didukung expert system sebagai
alat yang andal untuk menyusun rencana pembangunan, pembuatan keputusan dan pengendalian
pembangunan.
Sebagai catatan, expert
systems yang banyak dipakai negara-negara maju
biasanya dibuat atas kerangka
kerja fakta dan jawaban terhadap situasi
yang sudah dianalisasi secara
valid dan terstandardisasi.
Bimo Joga Sasongko, President Director & CEO Euro Management
Indonesia; Sekjen Pengurus
Pusat (Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar