Pengembangan SDM
Jurnalistik
Oleh : Bimo
Joga Sasongko
Peringatan
Hari Pers Nasional (HPN) merupakan momentum untuk pengembangan sumber daya
manusia (SDM) bangsa dibidang jurnalistik. Kompetensi wartawan harus selalu
ditingkatkan karena tantangan yang dihadapi semakin kompleks. Pengembangan SDM
jurnalistik sangat penting mengingat persaingan global semakin sengit.
Kemampuan wartawan untuk berbahasa asing juga harus ditingkatkan melalui
pendidikan atau kursus bahasa asing yang berkualitas. Kursus itu juga mengenai
seluk beluk kebudayaan dan cara hidup suatu bangsa yang telah meraih kemajuan.
Pengembangan
SDM jurnalistik juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Apalagi, Presiden Joko
Widodo akhir-akhir ini sempat kecewa dengan kineja komunikasi publik oleh para
pembantunya. Sehingga menyebabkan berita hasil pembangunan dan kebijakan
pemerintah belum optimal bahkan sering tenggelam oleh berita hoax. Presiden berharap agar para
menteri dan pejabat lainnya meningkatkan kemampuan komunikasi publiknya dengan
cara bersinergi lebih baik lagi dengan para jurnalis.
Para Presiden
RI memiliki cara dan gaya tersendiri untuk membantu meningkatkan kompetensi
para wartawan. Seperti halnya kiat Presiden RI ketiga BJ Habibie yang sering
mengajak langsung rombongan watawan untuk mengunjungi pusat peradaban unggul
dunia dan industri canggih di negara maju. Agar mereka mengetahui dan bisa
menulis secara detail tentang transformasi teknologi dan industri. Banyak
wartawan yang diberi kesempatan magang di negara maju oleh Presiden BJ Habibie.
Peringatan HPN
secara rutin diwarnai dengan penyerahan anugerah jurnalistik dan pers, bakti sosial,
dan hiburan rakyat. Rangkaian peringatan kali ini sebaiknya juga merumuskan
perlindungan bagi wartawan. Perlindungan profesi selain meningkatkan kompetensi
hadapi persaingan global juga menyangkut aspek keselamatan kerja dan bentuk
asuransi saat bertugas dilapangan. Terutama saat menghadapi situasi genting.
Berbagai kejadian di dunia mengakibatkaan terluka atau tewasnya sejumlah
wartawan yang melakukan tugas jurnalistik.
Masih hangat
dalam ingatan kita tentang tewasnya beberapa wartawan media masa cetak dan
elektronik dalam mengikuti joy flight pesawat terbang jenis SSJ-2011 yang
menabrak gunung di daerah Bogor beberapa tahun yang lalu. Itu merupakan tragedi
tugas profesi yang perlu dipikirkan lebih lanjut.
Acap kali
keteguhan wartawan dalam meliput melampaui kewajiban profesinya. Karena media
masa cetak maupun elektronik tergolong entitas industri maka kematian diatas
merupakan kecelakaan kerja. Selama ini para jurnalis dihinggapi dilema, yakni
antara kewajiban profesi dengan faktor keselamatan kerja. Padahal, faktor
keselamatan kerja merupakan keharusan manusiawi sekaligus aturan yang tidak
boleh diabaikan oleh segenap jurnalis media masa.
Berbagai
peristiwa yang terjadi, seperti bencana alam, kerusuhan massa, musibah
kecelakaan transportasi dan peristiwa di daerah konflik bersenjata membuat
naluri jurnalistik sulit dikendalikan. Lalu, menerjang mara bahaya yang jelas
terlihat maupun yang sedang mengintip. Dengan peralatan jurnalistiknya mereka
berburu berita, video dan gambar eksklusif.
Apa yang telah
dilakukan para jurnalis diatas memiliki dua sisi nilai sekaligus, yaitu herois
dan tragis. Dikatakan tragis karena kurang menyadari dan mudah mengabaikan
aspek keselamatan kerja. Padahal, masalah keselamatan kerja jurnalis sudah
diatur sedemikian rupa. Untuk itu para wartawan harus mendapatkan pelatihan dan
perlindungan keselamatan yang baku.
Dalam konteks
peliputan bencana alam, peperangan, kecelakaan, kerusuhan sosial dan
politik, naluri jurnalistik tidak bisa
dicegah oleh siapapun. Kondisi tersebut dalam domain etika dan profesi lazim
disebut dengan istilah conundrum. Yaitu suatu kondisi yang sedemikian kompleks
sehingga sangat sulit untuk dicarikan solusinya.
Dalam
diskursus etika dan profesi yang berkaitan dengan profesi jurnalistik, terdapat
dua pendirian untuk menjelaskan situasi dilematis yang dihadapi SDM
jurnalistik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh John C. Merril dalam bukunya
yang berjudul Controversies in Media Ethics.
Dua hal tersebut adalah; pertama, apa yang dinamakan sebagai pendirian
profesional. Pendirian ini menyatakan bahwa jurnalis harus mengutamakan
kewajiban profesinya serta mengalahkan pertimbangan-pertimbangan lain yang
dianggap menghambat dan menggugurkan profesionalitasnya, termasuk di dalamnya
adalah pertimbangan yang bersifat manusiawi. Ini dengan alasan bahwa profesi
merupakan pilihan tertinggi yang tidak boleh dikalahkan oleh alasan apa pun.
Kedua, adalah
apa yang disebut sebagai pendirian kemanusiaan. Pendirian ini mengemukakan
bahwa jurnalis sebaiknya lebih mempertimbangkan dampak atau konsekuensi yang
muncul saat mencari berita maupun dampak pemberitaannya. Sepenting apa pun
kewajiban profesional itu dapat digugurkan dengan alasan kemanusiaan. Antara
pendirian profesional yang bersifat absolut serta pendirian humanistik yang
bercorak relativistik, tampaknya, sangatlah bertentangan.
Aspek
profesionalisme seakan-akan mendorong sekaligus memerintahkan jurnalis untuk
mengeleminasi aspek humanisme. Sebaliknya, aspek humanisme dengan sendirinya
memberikan peluang bagi jurnalis untuk bersikap permisif dan selalu minta untuk
dimaafkan apabila telah dianggap menyalahi norma dan aturan.
Problema
keselamatan kerja bagi jurnalis sebenarnya sudah banyak dibahas dan dicarikan
solusi konkretnya. Bahkan resiko tinggi seperti liputan di daerah konflik bersenjata
sudah ada solusi konkretnya yang berupa engineering
directive maupun berbagai pemahaman lainnya. Misalnya, jurnalis yang
bertugas ke wilayah konflik bersenjata harus membekali diri dengan pengetahuan
pendukung seperti teknik survival, kemampuan berbahasa dan budaya, sosiologi,
psikologi, hukum, forensik, dan bahkan balistik.
Tentu saja
yang tidak boleh dilupakan adalah membawa peralatan dan keperluan lain seperti
makanan dan obat-obatan selama melakukan liputan. Namun, banyak pengusaha
industri media masa, baik cetak maupun elektronik yang belum memperhatikan
secara baik aspek keselamatan kerja bagi SDM-nya. Pada prinsipnya, jurnalis
juga merupakan pekerja industri. Implikasinya sama dengan para pekerja industri
di Indonesia lainnya yang mana sekarang ini juga masih dibelit dengan berbagai
persoalan keselamatan kerja.
Laporan Organisasi
Buruh Sedunia (ILO) sering menyatakan bahwa standar keselamatan kerja di
Indonesia masih masuk dalam peringkat buruk jika dibandingkan dengan negara
lain di Asia. Ini termasuk standar keselamatan kerja bagi SDM jurnalistik di
negeri ini. Perlu dibentuk Komisi Nasional Keselamatan Kerja yang kredibel.
Komisi diatas diharapkan independen, cerdas dan berwibawa seperti eksistensi
OSHA di Amerika Serikat. Lembaga itu telah memiliki reputasi tinggi serta telah
sampai kepada hal-hal detail dan spesifik yang sangat berguna untuk
mengembangkan standarisasi keselamatan kerja di muka bumi ini.
*) BIMO JOGA SASONGKO, Wakil Sekjen ICMI, Pendiri
Euro Management Indonesia, Ketua Umum IABIE.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar