Peringatan Hari Perhubungan Nasional (Harhubnas) pada 17 September
2017 mengambil tema terwujudnya transportasi yang handal, berdaya saing dan
memberikan nilai tambah. Harhubnas kali ini sebaiknya dijadikan momentum untuk
pengembangan nilai tambah pada industri transportasi nasional. Momentum itu
antara lain menjadikan pesawat hasil rancang bangun anak negeri N-219 segera
mendapatkan sertifikasi. Baik sertifikasi lokal, regional hingga internasional.
Alangkah tepatnya jika peringatan Harhubnas kali ini diwarnai dengan
terbitnya sertifikasi atau ijin pesawat N-219 dari Kementerian Perhubungan
sebagai otoritas penerbangan di Tanah Air.
Pesawat N-219 adalah salah satu impian Ibu Pertiwi yang menginginkan
adanya jembatan udara Nusantara. Yang hubungkan kepulauan Indonesia dan mampu
mendarat pada bandara perintis di daerah terpencil. Fungsi jembatan udara
tersebut sangat klop dengan adanya Pesawat N-219. Yang merupakan pesawat angkut
ringan yang memiliki kemampuan melayani operasional bandara perintis dan
optimis mampu menguasai pasar pesawat terbang di kelasnya.
Pesawat N-219 hasil kerjasama antara LAPAN dengan PT DI itu mampu
lepas landas dalam jarak pendek. Mendarat di landasan yang tidak beraspal dan
bisa self starting tanpa bantuan ground support unit
Reinventing Harhubnas dan totalitas pembenahan sistem dan industri
transportasi nasional hendaknya melanjutkan rintisan yang telah dilakukan oleh
Nurtanio sejak perang kemerdekaan. Perjuangan Nurtanio tersebut dilanjutkan
oleh BJ Habibie dengan membangun Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang
kemudian menjadi PT Dirgantara Indonesia (PT DI).
Kini perlu revitalisasi industri dirgantara untuk mewujudkan impian
Ibu Pertiwi tentang jembatan udara. Serta mengatasi persoalan nasional terkait
dengan kebutuhan SDM yang dihadapi industri penerbangan. Pemerintahan Presiden
Jokowi sebaiknya mendorong PT DI agar menghidupkan kembali lembaga pendidikan
dan latihan (diklat). Yang mampu mencetak SDM teknisi penerbangan yang andal.
Selain itu fasilitas flight test center yang dimiliki oleh PT DI sebaiknya
bekerja sama dengan TNI AU dan sekolah penerbang untuk mencetak SDM penerbangan
yakni pilot dan teknisi.
Beberapa kali terjadi kecelakaan pesawat komuter yang melayani
bandara perintis. Kini terjadi kekurangan pesawat komuter terkait dengan
penerbangan perintis yang melayani daerah terpencil. Pengoperasian pesawat
komuter yang beroperasi di bandara perintis sangat rentan dengan rintangan
alam. Kondisinya semakin rawan terkait dengan semakin mahalnya suku cadang
impor dan biaya perawatan rutin pesawat komuter bekas yang selama ini
beroperasi. Saatnya N-219 menjadi solusi untuk mencukupi kebutuhan pesawat
komuter yang sangat dibutuhkan masyarakat daerah terpencil.
Pesawat N-219 didesain mampu mengatasi dengan baik kondisi cuaca
ekstrem dan handal dalam hal terkait pengaturan lalu lintas udara.
Kepulauan Indonesia sangat membutuhkan peran bandara kecil yang beroperasi
sebagai jembatan udara. Bandara tersebut berada dipulau-pulai kecil dan
terluar. Bandara perintis tersebar dibeberapa wilayah seperti Sumatera, Jawa,
Sulawesi, Maluku dan Papua.
Bandara perintis berperan merangsang pertumbuhan ekonomi, menunjang
pembangunan dan mengembangkan pariwisata daerah. Namun hingga kini bandara
perintis masih mengandung bermacam kerawanan.
Peringatan Harhubnas 2017 harus dijadikan momentum untuk membenahi
seluruh bandara perintis agar memenuhi prosedur keamanan bandara seperti
Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP). Fasilitas bandara perintis
hingga kini ada yang belum memenuhi standar. Misalnya kondisi runway yang tidak
beraspal, terminal, ruang tunggu, gudang, kantor, peralatan pemadam kebakaran,
alat komunikasi dan juga tenaga ahli yang belum disiapkan.
Kondisi pesawat komuter yang dipakai untuk penerbangan perintis juga
masih sarat dengan masalah. Jumlah pesawat dan SDM penerbangan yang mendukung
penerbangan perintis masih kurang. Pesawat komuter kebanyakan bekas pakai atau
sewa dari luar negeri. Inilah yang mendorong agar pesawat N-219 segeraa
mendapat sertifikasi dan diprodukssi secara massal untuk melayani penerbangan
komuter.
Kita patut mengelus dada melihat pesawat komuter ATR berbagai tipe
yang kini menjadi armada perintis dan populasinya kini semakin banyak. Bermacam
tipe pesawat ATR produksi bersama Perancis Aerospatiale dan Italia Aeritalia
(Alenia) selama ini telah menjadi jembatan udara kepulauan Nusantara.
Eksistensi pesawat ATR pernah menyebabkan hati rakyat Indonesia
pilu. Khususnya bagi mantan Presiden RI ketiga BJ Habibie juga sangat bersedih.
Pasalnya pesawat sekelas ATR 42-300 buatan PT Dirgantara Indonesia, yakni
pesawat N-250 gagal diproduksi masal karena dihambat oleh pihak luar (IMF)
sehingga program nasional itu terkendala sertifikasi dan pendanaan. Kini ATR
yang notabene buatan asing itu telah mendominasi penerbangan komuter negeri
ini. Bahkan PT Garuda Indonesia membeli ATR 72-600 sebagai armada andalan yang
melayani rute perintis.
Eksistensi Pesawat N-219 sangat berarti bagi strategi terkait
penerbangan komuter yang melayani secara baik daerah terpencil dan pelosok
negeri. Sebagai negara kepulauan, negeri ini mestinya memiliki strategi yang
baik dalam pengadaan pesawat komuter sebagai jembatan udara.
Sebenarnya negeri ini pernah memiliki strategi pengadaan pesawat
komuter dengan cara memproduksi sendiri yakni pesawat jenis pesawat NC-212,
CN-235 dan N-250 hasil rancang bangun PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Namun,
karena dihadang masalah pembiayaan, maka program pesawat N-250 yang diproyeksikan
menjadi andalan sebagai pesawat komuter canggih di negeri ini berhenti ditengah
jalan.
Program nasional tersebut hanya menghasilakn dua buah prototipe,
yakni PA-1 dan PA-2. Program nasional itu akhirnya hanya menjadi program riset.
Portofolio investasi N-250 yang berupa alat produksi, sarana laboratorium,
serta persediaan material dalam jumlah cukup besar mestinya dilanjutkan lagi.
*) Lulusan teknik penerbangan North Carolina State University, USA.
Pendiri Euro Management Indonesia. Ketua Umum IABIE.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar