Meneropong Kapasitas Pembangunan
Indonesia
Kolektivitas bangsa saat ini mengalami distorsi dan gangguan relasional
akibat adanya disparitas atau ketimpangan keadilan sosial dalam bidang hukum,
ekonomi, pendidikan dan kesempatan kerja. Ketimpangan sosial harus segera
dicarikan solusinya. Pemerintah perlu memilki konsep yang tepat terkait dengan
peta jalan menuju keadilan sosial. Jalan tersebut harus bisa dipetakan lebih
konkret lagi di bidang perekonomian, misalnya redistribusi pendapatan hingga
redistribusi aset.
Menurut Louis Kelso dan Mortimer Adler, dalam konsep menuju keadilan
ekonomi terdapat tiga prinsip esensial yang bersifat interdependen, yaitu
partisipasi, distribusi, dan harmoni. Ketiganya membentuk konstruksi keadilan
ekonomi dalam masyarakat. Jika satu di antaranya hilang, niscaya konstruksi
keadilan sosial menjadi runtuh.
Diperlukan peran tegas
negara sebagai pengendali, karena distorsi dalam sistem pasar yang bebas akan
menciptakan ketidakadilan dalam dirinya sendiri. Seperti dikemukakan oleh
Joseph Stieglitz, selalu ada faktor asymetrical information dalam
mekanisme kerja pasar bebas, yang menyebabkan kebebasan itu sendiri menjadi
tidak adil dalam dirinya sendiri.
Ketimpangan pendapatan
penduduk saat ini semakin mengkhawatirkan. Kesenjangan yang makin lebar
lantaran kualitas pertumbuhan yang menurun. Selain itu, disebabkan beralihnya
fokus perekonomian dari sektor tradeable yang mencakup sektor pertanian,
pertambangan, dan manufaktur yang menyerap tenaga kerja ke sektor non-tradeable.
Contoh sektor nontradable antara lain hotel, restoran, transportasi,
dan komunikasi yang pangsa pasarnya domestik. Salah satu instrumen untuk
mewujudkan keadilan sosial adalah mengoptimalkan kapasitas pajak. Program
pengampunan pajak atau tax amnesty pada 2017 harus bisa menjaring segala
macam profesi.
Masih banyak jenis profesi yang belum berpartisipasi untuk menyukseskan
program tax amnesty. Program ini diharapkan dapat menjadi titik awal
perbaikan system perpajakan atau reformasi pajak di Indonesia. Tahun 2017 ini
harus mampu mewujudkan sistem pajak Indonesia yang sesuai dengan perspektif
ekonomi nasional, sesuai dengan perkembangan zaman, lebih efisien, sederhana,
mudah dipahami masyarakat, serta berbiaya rendah baik dalam administrasi
pemungutan maupun dalam memenuhi kewajibannya.
Perlu penghormatan terhadap hak-hak wajib pajak. Penghormatan ini tidak
hanya tercantum dalam terminologi wajib pajak menjadi pembayar pajak saja,
namun menjamin adanya hak-hak wajib pajak yang mendasar.
Pembenahan sistem pajak di Indonesia seharusnya disertai dua faktor
mendasar yaitu edukasi perpajakan dan aktivitas riset mengenai pajak. Untuk
itu, pemerintah perlu membuka kerja sama dengan pihak perguruan tinggi untuk
mencetak lebih banyak ahli pajak.
Selain itu, perlu juga pengiriman pegawai Ditjen Pajak belajar ke luar
negeri untuk mempelajari sistem perpajakan di negara maju. SDM perpajakan
Indonesia yang berkelas dunia dan memiliki integritas dan kompetensi yang
tinggi sangat penting untuk menghadapi persoalan masa depan yang lebih
kompleks. Apalagi perubahan arsitektur pajak yang semakin cepat berpotensi
meningkatkan jumlah sengketa pajak di kemudian hari.
Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya terdapat 12.000 berkas banding dan
gugatan baru di pengadilan pajak. Memasuki 2017, bangsa Indonesia sudah
diperingatkan oleh Bank Dunia bahwa ekspor industri manufaktur Indonesia terus
merosot sepanjang waktu. Terutama untuk industri berteknologi tinggi.
Tentunya ini sangat menyedihkan bagi SDM Iptek nasional karena tidak
tercipta wahana berkarya untuk mereka. Selain masalah teknologi tinggi, juga
mencuat paradoks yang memilukan terkait dengan impor berbagai jenis perkakas,
seperti halnya cangkul yang membanjiri negeri ini. Perkakas atau alat untuk
kerja pertanian, pertukangan, pengerjaan bangunan dan kelistrikan sangat
penting untuk menggenjot produktivitas bangsa.
Dominasi perkakas impor karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap
industri lokal untuk menguasai dan menerapkan teknologi produksi. Pemerintah
harus segera merevitalisasi industri perkakas lokal yang jenisnya sangat banyak
dan beragam. Mestinya pemerintah segera membantu permodalan dan aspek teknologi
pengusaha lokal. Termasuk penyediaan bahan baku supaya harga produk lokal dapat
bersaing. Karena hampir 40% biaya produksi tersebut untuk belanja bahan baku.
Kapasitas nasional industri logam dasar dan perkakas kurang ditangani
secara serius. Industri manufaktur atau pengolahan di Indonesia selama ini
dikelompokkan menjadi sembilan jenis. Dua jenis di antaranya adalah industri
yang membuat produk dari logam. Yaitu industry logam dasar dan industri
perkakas dan permesinan. Sebagian besar berdaya saing rendah. Selama ini
pemerintah belum optimal melakukan pembinaan sehingga efisiensi produksi dan
mutu produk industry masih buruk.
Menurut International Standard Industrial Classification (ISIC), industri
logam dasar dan permesinan memiliki nilai tambah manufaktur yang tinggi jika
diterapkan standarisasi dan peningkatan kapabilitas teknologi.
Mitigasi Bencana,
Aspek lain, kondisi geografis Indonesia sangat riskan terjadi bencana alam
khususnya gempa bumi. Seperti gempa bumi 6,4 Skala Richter (SR) yang terjadi di
Kabupaten Pidie Jaya, Aceh yang terjadi di penghujung 2016. Memasuki 2017,
perlu menguatkan kapasitas pusat dan daerah terkait sistem mitigasi bencana dan
manajemen tanggap darurat.
Indonesia sebagai negeri yang sering terjadi bencana harus memiliki
kemampuan yang baik terkait manajemen penanganan bencana, utamanya terkait
durasi yang cepat. Perlu disiapkan teknologi dan peralatan untuk antisipasi
gempa bumi yang setiap saat akan terjadi. Manajemen penanganan kerusakan
bangunan dan upaya evakuasi korban membutuhkan teknologi dan peralatan.
Bencana gempa bumi yang terjadi berulang kali di Tanah air mestinya semakin
memperbaiki manajemen penanganan bencana. Perlu mengadopsi manajemen proyek
modern sehingga bisa mereduksi durasi penanganan bencana alam. Usaha untuk
mempersingkat durasi penanganan bencana sangat tergantung kepada organisasi dan
tatakelola lembaga penanganan bencana.
Ketenagakerjaan
Memasuki 2017 juga diikuti dengan sederet masalah ketenagakerjaan yang
berat. Selama ini perluasan lapangan kerja, yang sering dinyatakan oleh
pemerintah, merupakan jenis profesi yang rentan dan kurang memiliki prospek dan
daya saing global. Maka, tahun 2017 harus menjadi momentum untuk mengembangkan
jenis profesi yang berdaya saing regional dan global.
Pemerintah pusat dan daerah harus mampu mengembangkan portofolio profesi.
Jenis-jenis profesi yang menjadi kebutuhan dunia di masa depan harus segera
dipersiapkan secara baik. Sehingga serbuan tenaga kerja asing (TKA) segera bisa
diatasi.
Pada tahun 2017 tidak boleh lagi terjadi penyimpangan kompetensi TKA,
sehingga jenis-jenis pekerjaan teknisi rendahan saja dicaplok oleh para TKA.
Hal itu terlihat pada megaproyek infrastruktur ketenagalistrikan. Hal serupa
juga terjadi di proyek infrastruktur kereta cepat, bendungan, telekomunikasi
dan transportasi. Ironisnya, peran tenaga kerja Indonesia (TKI) dalam berbagai
proyek infrastruktur hanya sebatas jenis pekerjaan sopir, satpam, cleaning
service dan tenaga kasar non teknis lainnya.
Pemerintah perlu menggalakkan program vokasional atau kejuruan yang
berbasis apprentice untuk membangunkan kapasitas nasional dan nilai tambah
raksasa yang masih tertidur. Esensi nilai tambah lokal adalah berbagai aspek
produksi atau jasa yang berlangsung di Tanah Air di mana proses pengolahannya
menggunakan teknologi dan inovasi sehingga memiliki harga yang lebih tinggi
atau berlipat ganda jika dibandingkan dengan harga bahan mentahnya. Lebih dari
itu, bisa memperluas lapangan kerja.
Bimo Joga Sasongko, Ketua Umum IABIE, Pendiri Euro Management Indonesia.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar