Press Release
Refleksi Akhir Tahun 2016
Milestone SDM 2017
Menjaring siswa SMA berbakat
Program vokasional berbasis link and match
Pendidikan informal berpendidikan rendah
Postur Sumber
Daya Manusia (SDM) Indonesia tergambar dalam data ketenagakerjaan 2016 yang
dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), dimana jumlah angkatan kerja mencapai
127,67 juta orang. Dari jumlah angkatan
kerja tersebut sebesar 47,37 % masih didominasi oleh lulusan SD dan SD ke
bawah, berpendidikan SMTP sebesar 18,57 % dan SMTA beserta SMK sebesar 25,09 %.
Sedangkan lulusan Diploma ke atas (DI, DII, DIII dan Universitas) hanya
berjumlah 8,96 %. Komposisi jumlah angkatan kerja diatas tentunya tantangan
berat untuk bisa bersaing secara global. Juga sangat rentan menimbulkan masalah
sosial yang gawat.
MEMASUKI
2017
perlu meneguhkan Milestone pengembangan SDM nasional agar bisa bersaing secara
global. Milestone merupakan langkah besar dan strategis sebagai tonggak penting
dalam perjalanan bangsa. Dengan kondisi postur SDM diatas perlu menekankan
program nasional yang dikelompokkan menjadi tiga segmen.
Pertama adalah program
penjaringan siswa lulusan SMA yang berbakat dan memiliki prestasi akademis yang
bagus untuk diberi kesempatan dan dipacu agar menjadi tenaga ahli atau ilmuwan
kelas dunia. Jumlah siswa lulusan SMA berbakat setiap tahun meningkat dan tidak
sebanding dengan daya tampung atau kapasitas perguruan tinggi terbaik di Tanah
Air. Bahkan untuk prodi tertentu sangat tidak sebanding dengan jumlah lulusan
SMA berbakat.
Dengan kondisi
tersebut perlu terobosan dengan membuka kesempatan lulusan SMA berbakat untuk
belajar ke luar negeri. Agar mampu menembus perguruan tinggi ternama di luar
negeri. Mereka perlu diarahkan hingga diberi insentif lewat bea siswa atau
kredit mahasiswa. Mereka perlu program matrikulasi, penguasaan bahasa asing
beserta aspek budayanya, tangguh menghadapi proses seleksi masuk perguruan
tinggi, serta mendapatkan program pendampingan agar lancar memulai studinya di
luar negeri.
Kedua adalah program
vokasional berbasis link and match. Penekanan program adalah mengembangkan
sistem apprenticeship seluas-luasnya di Tanah Air. Apalagi para pemimpin
pemerintahan dan bisnis di negara anggota G-20 telah menekankan pentingnya
apprenticeship yang bermutu dalam mengatasi masalah ketenagakerjaan bagi
lulusan SMTA atau SMK. G-20 Leaders’ Summit telah memberi penekanan lebih jauh
tentang apprenticeship.
Ketiga
adalah
program pendidikan informal untuk
segmen berpendidikan rendah, lulusan SD atau tidak tamat SD serta lulusan SMP.
Pendidikan informal bisa mereduksi masalah sosial khususnya di
perdesaan. Tahap pertama untuk program ini adalah membenahi organisasi
pendidikan nonformal yang pernah ada. Baik yang ada di tingkat desa atau kecamatan
yang biasa disebut Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM ) dan di tingkat
Kabupaten/Kota yang disebut Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Organisasi ini
harus dimodernisasi prasarananya serta kurikulumnya disesuaikan dengan kemajuan
jaman.
Menjaring Siswa SMA Berbakat
Selama ini mindset bangsa Indonesia
adalah ingin sekolah keluar negeri untuk program S2 atau S3 saja. Faktor inilah
yang membuat Indonesia kalah tertinggal dengan negara lain. Kenapa bisa
tertinggal, karena zaman dulu informasi tidak ada, kondisi keuangan keluarganya
masih rendah, kuliah S1 di Indonesia masih murah sehingga banyak orang
menganggap bahwa S2 saja keluar negerinya.
Namun zaman sekarang infomasi sudah
ada, globalisasi dimana-mana, teknologi sudah canggih, jarak tempuh pendek,
mentalnya masih muda, mudah beradaptasi, kemampuan bahasanya lebih cepat untuk
mempelajari bahasa asing, dan untuk S1 diluar negeri kuliah lebih lama mencapai
4 – 5 tahun dibandingkan dengan kuliah S2 hanya 1 – 2 tahun, sehingga proses
adaptasi dan pengenalan budaya di negara tersebut lebih mudah sehingga saya
merekomendasikan untuk tamatan SMA kesana sama halnya dengan apa yang ditempuh
BJ. Habibie saat masih belia.
Kini pemerintahan Presiden Joko
Widodo sedang gencar membangun berbagai macam infrastruktur fisik dan program
rekayasa untuk memenuhi swasembada pangan. Maka dibutuhkan SDM yang unggul dan
menguasai tren global tentang riset dan teknologi terkini. Untuk itu perlu
mengirim sebanyak-banyaknya lulusan SMA berbakat untuk belajar di perguruan
tinggi di negara maju. Hal ini lebih efektif karena para lulusan SMA secara
psikologis masih sangat idealis dan mudah melakukan revolusi mental saat
belajar di luar negeri. Begitupun dari segi rentang usia, lulusan SMA memiliki
waktu yang cukup untuk mendalami Iptek secara komprehensif.
Keunggulan untuk mencetak SDM unggul
dengan mengirimkan ke luar negeri adalah sistem pendidikan di sana yang
menekanakan sistem Lab Based Education (LBE) yang tidak dimiliki oleh perguruan
tinggi di dalam negeri. Sistem LBE adalah pendidikan yang dikaitkan dengan
proyek riset atau tugas akhir di laboratorium canggih.
Seperti misalnya di University of
Tokyo yang merupakan salah satu universitas ternama di Jepang. Pendidikan yang
didominasi oleh perkuliahan selama ini mendominasi cara pendidikan di
universitas dalam negeri. Hal itu hanya membentuk kompetensi umum individu atau
generality. Prof. Suzuki berpendapat bahwa kompetensi ke spesialis ( specialty
) diperoleh dengan sistem LBE yang berkaitan dengan project based research atau
thesis based education. Sehingga mahasiswa mampu menjadi spesialis sekaligus
versatilis yakni seorang problem solver pembangunan bangsa dan inovator
industri serta rekayasa sosial yang andal.
Ada baiknya pemerintah saat ini napak
tilas SDM Teknologi yang dahulu dipersiapkan oleh Prof.BJ.Habibie lewat
beasiswa ikatan dinas kuliah di luar negeri untuk menangani transformasi
industri dan teknologi berbagai bidang. Pada saat ini mereka tetap eksis dan
telah menemukan jalan masing-masing untuk mengabdikan kompetensinya kepada
negeri ini.
Penerima beasiswa ikatan dinas ke
luar negeri searah dengan paradigma global brain circulation seperti yang
dikemukakan oleh Paul Krugman penerima hadiah Nobel bidang Ekonomi. Para
penerima beasiswa LN yang dikirim sejak mereka lulus SMA lebih mudah menjadi
sosok versatilis. Sosok itu telah menjadikan kompetensi dan pengalaman sewaktu kuliah
dan magang kerja di LN sebagai modal penting untuk memecahkan berbagai
persoalan bangsa. Hal itu tidak mengherankan karena sistem pendidikan di negara
maju bisa menjadi problem solving yang hebat untuk berbagai kehidupan. Karena
kurikulum mengalami perbaikan yang terus menerus, berkembang setiap detik dan
sangat memperhatikan kerja detail.
Vokasional yang berbasis Link and match
Memasuki 2017 perlu
totalitas menggalakkan program vokasional atau kejuruan yang berbasis
apprentice untuk membangunkan nilai tambah lokal yang diibaratkan raksasa yang masih
tertidur. Esensi nilai tambah lokal adalah berbagai usaha produksi atau jasa
yang berlangsung di Tanah Air. Dimana proses pengolahannya menggunakan
teknologi dan inovasi sehingga memiliki harga yang lebih tinggi atau berlipat
ganda jika dibandingkan dengan harga bahan mentahnya. Dan bisa memperluas
lapangan kerja. Dengan prinsip nilai tambah yang genuine, bangsa Indonesia
tidak sudi lagi mengimpor bahan mentah tanpa diolah secara signifikan terlebih
dahulu.
Program
vokasional berbasis apprentice adalah kunci suksesnya industrialisasi di negara
maju. Sedangkan di Indonesia juga pernah diterapkan sistem Apprentice untuk
memenuhi kebutuhan SDM industri dalam durasi yang singkat. BUMN industri
strategis, seperti industri pesawat terbang PT DI pernah mencetak puluhan ribu
teknisi ahli yang direkrut dari lulusan SMA dan SMK menjadi SDM industri yang
spesifik dan sesuai dengan kebutuhan.
Apprenticeship
dalam istilah bahasa Indonesia bisa disederhanakan artinya menjadi pemagangan.
Apprenticeship adalah bentuk unik dari pendidikan kerja, yang mengkombinasikan
pelatihan di tempat kerja dengan pembelajaran berbasis di sekolah, terkait
kompetensi dan proses kerja yang ditentukan secara khusus.
Durasi
apprenticeship biasanya lebih dari satu tahun dan bahkan di beberapa negara
berlangsung selama empat tahun. Pendekatan organisasi buruh sedunia ILO untuk
apprenticeship adalah mekanisme pembelajaran canggih atas dasar saling percaya
dan kerjasama antar pemangku kepentingan yaitu : kaum muda, otoritas
ketenagakerjaan dan pendidikan, pengusaha dan pekerja.
Pemagangan berbasis link and match sebaiknya menekankan prinsip desentralisasi. Ini bisa
sukses dengan catatan pemerintah daerah harus benar-benar siap secara teknis
maupun kelembagaan. Desentralisasi juga menjadi momentum untuk membenahi
standardisasi sekolah menengah, terutama SMK agar terwujudnya link and match dalam
pembangunan nasional. Standardisasi sekolah kejuruan sangat beragam dan tidak
sama setiap daerah. Tergantung dari sumber daya lokal serta mengikuti
perkembangan dunia industri dan transformasi teknologi.
Untuk mewujudkan link
and match perlu sinergi antara ikatan sekolah kejuruan, dunia usaha/industri
yang diwakili oleh KADIN serta praktisi atau ahli teknologi yang memiliki
pengalaman tentang transformasi industri dan teknologi di negara maju. Konsep
link and match yang dirumuskan oleh Wardiman Djojonegoro yang pernah menjadi
Mendikbud Kabinet Pembangunan VI, pada saat ini konsep tersebut masih relevan.
Perspektif link
menunjukkan proses, yang berarti bahwa proses pendidikan selayaknya sesuai
dengan kebutuhan pembangunan, sehingga hasilnya pun cocok (match) dengan
kebutuhan tersebut.Baik dari segi jumlah, mutu, jenis, kualifikasi maupun
waktunya. Sistem pendidikan nasional sejak Indonesia merdeka hingga kini belum
mampu memenuhi tuntutan dunia usaha dan industri.
Desentralisasi ujian
kelulusan berimplikasi terhadap fleksibliitas pemda dalam menyusun dan memenuhi
portofolio ketenagakerjaan di daerahnya. Hal ini terutama terkait dengan
kebutuhan akan pendidikan vokasional atau kejuruan. Khususnya vokasional yang
terkait sektor unggulan seperti maritim, perhubungan, telekomunikasi,
pariwisata, pertanian dan industri kreatif.
Pendidikan Informal Mereduksi
Gejolak Sosial
Tahun 2017 negeri ini berpotensi
dihadang berbagai masalah sosial yang serius. Kasus kekerasan dan tindak
kejahatan diprediksi akan meningkat. Hal itu merupakan indikasi bahwa masyarakat
tengah mengalami frustrasi sosial yang berkelanjutan. Itu terjadi karena
beberapa faktor yang saling memengaruhi. Antara lain faktor kemiskinan
struktural, lonjakan pengangguran akibat sempitnya lapangan kerja, dan ketimpangan
sistem pendidikan.
Salah satu langkah untuk
mengurangi frustrasi sosial adalah dengan jalan penyelenggaraan seluas-luasnya
pendidikan nonformal untuk generasi muda yang berpendidikan rendah. Agar
kehidupan rakyat kecil tidak semakin sumpek dan timbul disorientasi.
Penyelenggaraan pendidikan nonformal itu menyasar segmen lulusan SMP kebawah.
Arahnya sebaiknya terkait dengan lapangan kerja dengan prinsip link and match
dengan potensi sumber daya lokal.
Pendidikan nonformal yang di
selenggarakan selama ini asal-asalan dengan kurikulum atau konten yang sudah
usang. Organisasi pendidikan nonformal di tingkat Kecamatan yang disebut Pusat
Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM ) dan di tingkat Kabupaten/Kota yang disebut
Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) tidak mampu beradaptasi dengan kemajuan jaman.
Melihat kondisi diatas perlu sinergi antara Kemnakertrans dengan Kemdiknas
untuk segera melakukan revitalisasi dan memperluas pendidikan nonformal gaya
baru di negeri ini.
Atas
perhatian dan kerjasama antara Euro Management Indonesia dan rekan-rekan
jurnalis media massa, baik media cetak maupun elektronik, kami sampaikan terima
kasih yang sebesar-besarnya. Selamat tahun baru 2017.
Jakarta, 28 Desember 2016
Pendiri Euro Management Indonesia
Bimo Sasongko BSAE, MSEIE, MBA
President Director &CEO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar