Oleh
: Bimo Joga Sasongko *)
Peringatan Hari Sumpah Pemuda (HSP) ke-89 diwarnai dengan kerawanan generasi
milenial yang alami ketergantungan berat terhadap akses internet. Aspek
konektivitas tengah menjadi candu bagi generasi muda kini. Sayangnya hal
tersebut belum mendongkrak produktivitas dan nilai tambah ekonomi kebanyakan
pemuda. Belanja teknologi informasi dikalangan generasi milenial justru makin
boros dan kurang digunakan untuk hal-hal yang produktif.
Hadirnya
teknologi digital harusnya menjadikan Indonesia semakin produktif dan berdaya
saing. Nyatanya belum demikian. Teknologi itu baru digunakan untuk hal-hal yang
konsumtif. Remaja yang menggunakan TIK untuk kegiatan inovatif produktif
masih langka. Kerawanan generasi milineal diatas harusnya menjadi perhatian
serius.
Kebetulan
peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun ini bertema “Pemuda Indonesia Berani
Bersatu”. Perlu ada tekanan makna terhadap kata bersatu sebagai agenda aksi
bersama untuk eleminir kerawanan generasi milenial dalam berkonektivitas.
Data
demografi menunjukan bahwa jumlah pemuda di Indonesia sesuai dengan
Undang-undang tentang Kepemudaan dengan rentang usia antara 16-30 tahun,
berjumlah 61,8 juta jiwa. Jumlah penduduk tersebut bisa kita sebut sebagai
generasi milenial.
Bisa
juga disebut sebagai C-generation (conected
generation). Jumlah itu 24,5% dari total penduduk Indonesia yang mencapai
252 juta orang (BPS, 2014). Kondisi demografi pemuda diatas harus dikelola
secara totalitas dan strategi yang jitu. Agar jumlah besar itu nantinya tidak
menjadi pemboros yang menjadi beban bangsa ke depan.
Berdasarkan
penelitian Alvara Research Center terdapat beberapa ciri generasi milenial. Pertama, generasi itu sangat kecanduan
internet. Pada umumnya mereka menggunakan internet memakan waktu rata-rata satu
sampai enam jam per hari. Kedua,
mereka mengakses internet menggunakan smartphone.
Internet selalui diakses karena keinginan mengaktifkan hubungan (chatting, saling berkirim pesan, gambar
dan video call) dengan teman media
sosialnya.
Ketiga, mereka akses internet setiap waktu mulai bangun tidur
hingga kembali tidur. Puncak dari mengakses internet terjadi saat mereka
luang dari kegiatan rutinitas, yaitu dari pukul 18.00 hingga pukul 22.00.
Kerawanan
yang mengintai generasi milenial juga berupa kecenderungan anti sosial. Apalagi
sekarang negeri ini belum ada arah yang jelas terkait dengan perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan. Mestinya teknologi
pendidikan bisa mengatasi dampak negatif dari interaksi generasi muda dengan
perkembangan teknologi tersebut. Sayangnya, kebijakan nasional terkait
teknologi informasi dan komunikasi pendidikan selama ini dalam kondisi amorfik
sehingga gagal menjadi wahana untuk membentuk C-generation yang sehat dalam berkonektivitas.
Teknologi Untuk Rakyat Banyak
Era
konvergensi teknologi informasi mestinya melahirkan generasi C yang ideal, yang
mampu lakukan konektivitas produktif, konten kreatif, kolaborasi inovasi, dan
pengembangan pemikiran kontekstual.
Negara
maju seperti halnya Amerika Serikat telah berusaha keras untuk atasi dampak
negatif penggunaan internet bagi generasi milenial. Kerisauan terhadap dampak
negatif perkembangan teknologi informasi bagi generasi bangsa tergambar dalam
buku Mark Bauerlein yang pernah menjadi best
seller. Yakni “The Dumbest
Generation”. Buku Bauerlein itu mengulas tentang pembodohan dan sifat boros
anak-anak Amerika Serikat akibat akses internet dan gim.
Buku
itu menggugat janji-janji teknologi informasi dengan berbagai tajuk, seperti knowledge sharing, information superhighway,
dan lain-lain. Ternyata, janji-janji itu tidak seluruhnya benar.
Hanya
sebagian anak muda yang berhasil memetik sisi positif dari perkembangan
teknologi tersebut. Hal itu pada akhirnya melahirkan generasi muda yang boros,
pemalas dan suka jalan pintas yang diistilahkan sebagai generasi dumbest alias dungu. Secara lugas buku
itu juga mengkaji kecenderungan generasi muda menjadi generasi yang cuma sibuk chatting tanpa konteks intelektualitas
yang mendalam.
Pemerintah
jangan justru mendorong sifat boros generasi milenial dalam hal
berkonektivitas. Pemerintah perlu fokus kepada program teknologi informasidan
komunikasi kerakyatan yang bertujuan menjadikan teknologi tersebut untuk
kemaslahatan rakyat seluas-luasnya dengan harga yang semurah-murahnya. Dengan
berbagai terobosan teknologi dan inovasi tepat guna yang mengedepankan open sources dan membongkar regulasi
yang selama ini cenderung berpihak kepada vendor asing.
Kabinet
Kerja Presiden Jokowi diharapkan bisa mewujudkan e-Readiness Indonesia untuk atasi kerawanan generasi milenial dalam
berkonektivitas. Perlu kesiapan infrastruktur teknologi informasi kerakyatan,
sistem inovasi, insentif pengembang Produk TI, dan faktor sosio teknologi untuk
atasi dampak negatif pesatnya teknologi informasi.
Hadirnya
teknologi digital harusnya menjadikan bangsa Indonesia semakin kreatif dan
produktif. Nyatanya belum demikian. Teknologi baru digunakan untuk mengonsumsi,
dan untuk produktivitas masih langka.
Hal
itu dikemukakan oleh maestro industri kreatif Garin Nugroho dalam berbagai
diskusi ilmiah di beberapa perguruan tinggi. Menurut Garin, belum ada
kesadaran bahwa teknologi informasi dan media baru mesti dikapitalisasi atau
diproduktivitaskan.
Sebagai
salah satu negara yang selalu masuk dalam lima besar pengguna internet di
dunia, tapi bangsanya masih membudidayakan konsumerisme. Kondisi Tersebut
membuat ranah teknologi informasi dan sosial media praktis telah dikooptasi
atau digunakan oleh pasar global daripada pasar lokal.
*)
Pendiri Euro Management Indonesia. Ketua Umum IABIE.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar